JUAL BELI YANG MENGANDUNG UNSUR RIBA
A. DEFINISI RIBA
Menurut bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebih atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah :
“Bumi jadi subur dan gembur”. (Al-Haj: 5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut AlMali ialah :
“akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syar, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang disyariatkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[1]
B. DASAR HUKUM DIHARAMKANNYA RIBA
Larangan riba muncul dalam Al-Quran pada empat kali penurunan wahyu/tahapan yang berbeda-beda.
Wahyu Yang pertama, (Ar-Rum : 39) diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.
Wahyu Pertama Diturunkannya Larangan Riba (Ar Rum : 39)
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambahpada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS. AR Rum: 39)
As-Shabuni (2003) menjelaskan menurut zhahirnya tidak isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan Allah terhadap riba itu, di mana dinyatakan “Riba itu tidak ada pahalanya disisi Allah” Jadi dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “Peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba (mau’izhah salbiyah)”.[2]
Wahyu yang Kedua, (An-Nisa : 161), diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Al-Quran mensejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang amat pedih.[3]
Wahyu Kedua Diturunkannya Larangan Riba (An Nisa : 161)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَاوَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا
عَذَابًا أَلِيمًا
Artinya : Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka telah memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara itu siksa yang pedih. (QS. An Nisa : 161).
Ash-Shabuni (2003) menjelaskan ayat ini merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang memakan riba, tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka akibat dari semua itu mereka ini mendapat laknat dan kemurkaan dari Allah.
Jadi larangan riba di sini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan. Sebab ini adalah kisah Yahudi yang bukan merupakan dalil qath’i, bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam. Ini sama dengan larangan arak dalam periode kedua, yaitu : “Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, maka jawablah : bahwa pada keduanya itu ada dosa yang besar, di samping juga banyak manfaatnya bagi manusia”. (2:219). Larangan di sini berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan. [4]
Wahyu yang ketiga, (Ali-Imran : 130-131), diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga hijriyah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya).[5]
Wahyu Ketiga Diturunkannya Larangan Riba (Ali Imran : 130-131)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ{130} وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ{131} وَأَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ{132}
Artinya : (130) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (131) dan periharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir. (132) dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran : 130-132)
Ash-Shabuni (2003) mengatakan lebih lanjut bahwa ini merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan (haramnya) di sini, baru bersifat juz’iy (sebagian), belum kulliy (menyeluruh). Karena haramnya di sini adalah satu macam dari riba yang ada, yang disebut “riba fahisy” (riba yang paling keji), yaitu bentuk suatu bentuk riba yang paling jahat, di mana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang mengutanginya itu, yang justru dia berhutang karena butuh atau terpaksa. Ini sama dengan diharamkannya arak pada periode ke tiga, yang haramnya itu juga baru bersifat juz’iy bukan kulliy. Yakni masih terbatas pada waktu-waktu shalat, seperti yang difirmankan Allah : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, padahal kamu sedang mabuk, hingga kamu sadar akan apa yang kamu katakan,” (An-Nisa : 42).
Wahyu yang keempat,(Al-Baqarah : 275-281), diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah SAW, mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.[6]
Wahyu Kekempat Diturunkannya Larangan Riba (Al Baqarah : 275-281)
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{275} يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276} إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ{277} يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ{279} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ{280} وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَيُظْلَمُونَ{281
Artinya : (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (280) Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (281) Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).( QS. Al-Baqarah : 275-281)
Dalam ayat ini Ash-Shabuni (2003) memastikan bahwa riba itu telah diharamkan secara menyeluruh (kulliy), di mana pada periode ini Al-Quran sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Yaitu firman Allah yang mengatakan : “Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba…” (Al-Baqarah : 278)
Ayat-ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba, sama dengan tahap terakhir tentang diharamkannya arak, dan merupakan larangan yang tegas : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan undian, adalah najis yang berasal dari perbuatan syetan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu berutang.” (Al-Maidah : 93)[7]
C. MACAM-MACAM RIBA
Riba terdiri dari 5 macam :
1. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah menurut Wahbah Al-Zuhaily adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penamabahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap berbeda jenis yang ditimbang atau di takar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang.[8]
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Contohnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam.[9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
2. Riba Fadhal
Definisinya adalah Berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, dan berlebihan ukurannya paa barang-barang yang diukur.[10]
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
a. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
b. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan, bahwa nabi saw., bersabda :
“Janganlah kamu menjual satu dihram dua dihram, sesungguhnya aku menakuti kamu berbuat riba”.
Dengan demikian pelarangan riba fadhal karena beliau takut kalau mereka berbuat riba nasi’ah.
Hadits menyebut pengharaman untuk enam jenis barang yang kaitannya dengan riba: yaitu Emas, Perak, Gandum, Jawawut, Kurma dan Garam.
3. Riba Qardli
Yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang. Riba Qardli sama dengan riba Fadhal, hanya saja riba fadhal kelebihannya terjadi ketika Qardli berkaitan dengan waktu yang diundurkan.
4. Riba Yad
Berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima. Ibnu qayyim menyatakan dilarang berpisah dalam perkara tukar menukar sebelum ada timbang terima. Menurut Sulaiman Rasyid, dua orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang terima disebut riba yad. Menurut Ibnu Qayyim, perpisahan dua orang yang melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba.
5. Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.[11]
D. JUAL BELI YANG TERMASUK RIBA
1. Menjual hewan dengan daging
Sabda Rasulullah:
“ Dari Sa’id bin Musayab, bahwa sesungguhnya Nabi saw melarang tukar menukar daging dengan binatang”. (HR Malik di dalam Al Muwatha).
Jumuhur ulama berpendapat: binatang yang dapat dimakan tidak boleh diperjualbelikan dengan dagingnya. Maka tidak boleh menjual sapi yang sudah dipotong dengan sapi yang masih hidup yang dimaksudkan untuk dimakan, berdalil kepada hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Al Musayyab, bahwa rasulullah saw mencegah menjual binatang dengan daging. (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwattha’ dari Said secara mursal yang mempunyai beberapa saksi).
2. Jual beli Buah basah dengan yang kering
Jual beli buah basah dengan yang kering tidak dibolehkan kecuali untuk penduduk ‘araya yaitu mereka yang miskin yang tidak memiliki pohon kurma. Mereka ini harus membeli kurma basah untuk dapat memakan di pohon yang masih ditangkainya dengan menukarkan dengan kurma kering.
Imam malik dan Abu Daud meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi saw, pernah ditanya mengenai jual beli kurma basah dan kurma kering. Beliau lalu menjawab :
“Apakah ruthab (kurma basah) akan mengurangi jika telah kering?” Orang itu menjawab: “Ya”. Rasulullah kemudian mencegahnya.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah mencegahnya muzaabanah, artinya: seseorang menjual buah hasil kebunnya – jika pohon kurma – dengan kurma kering secara takar. Jika ia adalah anggur, dijual dengan anggur kering secara taka, dan jika hasil pertanian, dijual dengan pangan jadi secara takar pula. Semua itu dicegah oleh beliau karena termasuk riba.[12]
Dalam hadits dikatakan:
“Dan dalam satu lafal (dikatakan): (Nabi saw) melarang menjual buah-buahan dengan tamar dan ia bersabda:”itu adalah riba, itu adalah muzabanah”. Tetapi Nabi saw memberi keringanan dalam jual beli secara ‘ariyah, yaitu satu atau dua pohon kurma yang diambil oleh keluarga rumah dalam keadaan kering padahal mereka makan dalam keadaan kemampo. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)
3. Jual beli “Ayyinah
Jual beli ini dilarang oleh Rasulullah karena termasuk riba, sekalipun berbentuk jual beli. Karena, orang yang membutuhkan uang untuk membeli suatu barang dengan harga tertentu dengan pembayaran waktu tertentu. Kemudian barang itu ia jual kembali kepada orang yang tadi menjual padanya dengan pembayaran langsung yang lebih kecil. Dengan demikian perbedaanya hanyalah keuntungan berupa uang yang dapat ia peroleh dengan cepat.
Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Nabi saw, bersabda :
“jika manusia sudah menjadi (kikir) lantaran uang dinar dan dihram, mereka melakukan jual beli dengan cara ‘ayyinah dan mereka telah mengikuti buntut sapi, mereka meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah menurunkan bala kepada mereka. Dia tidak mencabut bala tersebut sebelum mereka kembali keada agama mereka”.
Al Aliyah binti Aifa binSyarahbil mengatakan: Aku dan Ibunya (Zaid bin Arqam) pernah masuk ke rumah Aisyah r.a maka ibunya Zaid bin Arqam berkata:
“ Sesungguhnya aku telah menjual budak dari Zaid bin Arqam dengan harga 800 dirham dengan cara nasi’ah (penangguhan pembayaran), kemudian aku beli lagi dengan harga 600 dirham dengan pembayaran tunai”. Aisyah kemudian berkata :”Alangkah buruknya caramu menjual, dan alangkah buruknya caramu membeli. Sampaikanlah kepada Zaid bin Arqam, bahwa cara demikian telah membatalkan (ma’na) jihadnya bersama Rasulullah saw, kecuali jika ia bertaubat”.(dikeluarkan oleh Malik dan Ad Daruquthnie).[13]
[1] Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT RajaGarafindo Persada 2005)
[2] Http//wikipedia.com
[3] Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)
[4] Http//wikipedia.com
[5] Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara,2004)
[6] Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta: Pena Pundi Aksara,2004)
[7] Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara ,2004)
[8] Ghufran, Masadi, Fiqih Muamalah Konstektual, PT RajaGarfindo Persada :( Jakarta : 2002)
[9] Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta:2004)
[10] Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah,PT RajaGarafindo Persada : (Jakarta 2005)
[11] Http//wikipedia.com
[13] Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah,PT RajaGarafindo Persada : (Jakarta 2005)